Analisa Laporan Keuangan LSM – Lembaga

Seperti telah diuraikan pada artikel sebelumnya yang berjudul Analisa Laporan Keuangan LSM – Proyek, analisa laporan keuangan LSM disini lebih berarti ‘memahami’: konsep laporan keuangan, kegunaan masing-masing laporan, peta besar penyajiannya, berikut pola relasi antar masing-masing laporan keuangan dan juga pengenalan atas “angka kunci” di masing-masing laporan keuangan.

Terdapat dua tingkat laporan keuangan pada organisasi LSM, yaitu:

  • Laporan Keuangan PROYEK
  • Laporan Keuangan LEMBAGA (Konsolidasi/sesuai dengan PSAK 45)

Laporan Keuangan LEMBAGA akan terdiri dari:

  • Laporan Aktivitas (LA/Laba Rugi)
  • Laporan Posisi Keuangan (LPK/Neraca)
  • Laporan Arus Kas

Analisa laporan keuangan LSM disini lebih berarti ‘memahami’: konsep laporan keuangan, kegunaan masing-masing laporan, peta besar penyajiannya, berikut pola relasi antar masing-masing laporan keuangan dan juga pengenalan atas “angka kunci” di masing-masing laporan keuangan.

Pembahasan kali ini akan diawali dengan membandingkan antara Laporan Aktivitas dan Laporan Posisi Keuangan. Perbedaan fungsi penyajian kedua laporan keuangan ini ditandai dengan keterangan judul yang berbeda, sebagai berikut:

Laporan Keuangan Lembaga 5

Sehingga tampak jelas kini bahwa Laporan Aktivitas merupakan hasil rekaman aktivitas yang terjadi pada organisasi selama periode 1 Jan – 31 Des, sedangkan Laporan Posisi Keuangan lebih merupakan potret akhir dari rekaman tersebut per 31 Des.

Laporan Keuangan Lembaga 4

Dalam bagan-bagan sederhana, analisa Laporan Keuangan PROYEK dapat dipahami sebagai berikut:

Laporan Keuangan Lembaga 3

Laporan Keuangan Lembaga 2

Laporan Keuangan Lembaga

Visualisasi selengkapnya dapat diunduh pada file Analisa Laporan Keuangan LSM di halaman Download kategori Manajemen Keuangan.

Analisa Laporan Keuangan LSM – Proyek

Analisa laporan keuangan LSM yang disajikan di sini berbeda dengan model analisa laporan keuangan sektor bisnis yang seperti biasanya akan membandingkan rasio-rasio tertentu dari sebuah laporan keuangan.

Analisa disini lebih berarti ‘memahami’: konsep laporan keuangan, kegunaan masing-masing laporan, peta besar penyajiannya, berikut pola relasi antar masing-masing laporan keuangan dan juga pengenalan atas “angka kunci” di masing-masing laporan keuangan.

Terdapat dua tingkat laporan keuangan pada organisasi LSM, yaitu:

  • Laporan Keuangan PROYEK
  • Laporan Keuangan LEMBAGA (Konsolidasi/sesuai dengan PSAK 45)

Laporan Keuangan PROYEK akan terdiri dari:

  • Laporan Penerimaan dan Pengeluaran Dana (LPPD)
  • Laporan Status Dana (LSD)
  • Laporan Realisasi Anggaran (LRA)

Analisa disini lebih berarti ‘memahami’: konsep laporan keuangan, kegunaan masing-masing laporan, peta besar penyajiannya, berikut pola relasi antar masing-masing laporan keuangan dan juga pengenalan atas “angka kunci” di masing-masing laporan keuangan.

Dalam bagan-bagan sederhana, analisa Laporan Keuangan PROYEK dapat dipahami sebagai berikut:

Laporan Keuangan Proyek 4

Laporan Keuangan Proyek 3

Laporan Keuangan Proyek 2

Sehingga pola relasi antar ketiga laporan tersebut dapat disajikan sebagai berikut:

Laporan Keuangan Proyek

Visualisasi selengkapnya dapat diunduh pada file Analisa Laporan Keuangan LSM di halaman Download kategori Manajemen Keuangan.

Pengelolaan Uang Muka 4 : Kebijakan dan Alur Prosedur

Bagian 3 telah memaparkan bagaimana sebaiknya pengelolaan uang muka dilakukan, dengan mempertimbangkan aspek-aspek pengendalian internal.

Paparan tersebut yang kemudian melandasi pengembangan ‘prosedur pengelolaan uang muka’. Prosedur pengelolaan uang muka sendiri adalah salah satu sub bagian dan tidak terpisahkan dari ‘sistem akuntansi dan keuangan’ LSM.

Apa itu sistem akuntansi dan keuangan? Dan apakah definisi prosedur itu?

Sistem Akuntansi dan Keuangan merupakan rangkaian prosedur (organisasi formulir, catatan dan laporan) yang saling berhubungan untuk menyediakan informasi keuangan yang dibutuhkan oleh pihak manajemen guna pengambilan keputusan organisasi.

Prosedur adalah suatu urutan kegiatan klerikal, biasanya melibatkan beberapa orang dalam satu bagian atau lebih, yang dibuat untuk menjamin penanganan secara seragam transaksi organisasi yang terjadi berulang-ulang.

Prosedur yang utuh akan terdiri dari kebijakan prosedur, alur prosedur dan formulir. Pada bagian ini kita akan coba membahas kebijakan prosedur pengelolaan uang muka terlebih dahulu.

Kebijakan prosedur akan dibangun secara spesifik di masing-masing organisasi sesuai dengan karakteristik organisasi dan pola pengelolaan keuangan masing-masing.

Di bawah ini adalah sekedar contoh kebijakan prosedur pengelolaan uang muka yang bisa dikembangkan:

  1. Yang berhak mengajukan permohonan uang muka adalah kepala divisi atau koordinator program.
  2. Permohonan uang muka diajukan paling lambat 1 (satu) minggu sebelum dicairkan.
  3. Permohonan uang muka hanya bisa diajukan terbatas pada biaya-biaya yang terdapat pada anggaran yang sudah disekapati dan disetujui oleh lembaga donor atau telah disetujui oleh Direktur Eksekutif.
  4. Uang muka hanya boleh diajukan untuk kegiatan yang akan dilaksanakan selambat-lambatnya untuk jangka waktu satu bulan ke depan.
  5. Pencairan uang muka dilakukan setiap hari Selasa dan Kamis, setiap minggunya.
  6. Pengeluaran dana untuk uang muka dan selisih dari pertanggungjawaban uang muka akan dikelola melalui bank.
  7. Uang muka diterimakan sesuai dengan mata uang dan kurs pada permintaan.
  8. Pertanggungjawaban uang muka harus di lakukan paling lama seminggu setelah kegiatan selesai.
  9. Uang muka yang belum dipertanggungjawabkan lebih dari seminggu setelah kegiatan selesai akan otomatis dibukukan sebagai piutang karyawan pemegang uang muka yang bersangkutan.

Hendriques dalam tulisannya ‘Mekanisme Kontrol Ideal bagi LSM’ (artikel dalam buku Kritik dan Otokritik LSM) memaparkan upaya kontrol atas uang muka sebagai berikut:

Untuk mengawasi pergerakan uang muka yang diberikan, LSM seharusnya:

  • Menggunakan formulir permohonan uang muka dan formulir pertanggungjawaban uang muka;
  • Menetapkan otorisasi uang muka (siapa berhak memperoleh uang muka, siapa berhak menyetujui permohonan uang muka, siapa yang harus mempertanggungjawabkan uang muka, siapa yang harus mengetahui/menyetujui pertanggungjawaban uang muka);
  • Memutuskan tentang pembebanan suatu pengeluaran tertentu (Kode Donor, Kode MoU/Agreement, Kode Divisi, Kode Program, Kode Kegiatan, Kode Pengeluaran);
  • Mengawasi saat dan pertanggungjawaban (menyusun dokumen pengeluaran secara tertib, menetapkan kode anggaran yang sesuai, menyampaikan pertanggungjawaban beberapa hari setelah kembali);
  • Mengingatkan para penerima uang muka mengenai pertanggungjawaban (landasan ketentuan, siapa, berapa, untuk apa);
  • Tidak memberikan uang muka selanjutnya sebelum uang muka sebelumnya dipertanggungjawabkan;
  • Melakukan konfirmasi atas tagihan uang muka yang belum dipertanggungjawabkan;
  • Menetapkan sanksi tertentu (jika belum mempertanggungjawabkan uang muka sampai saat tertentu).

Contoh alur prosedur pengelolaan uang muka dalam bentuk flowchart adalah sebagai berikut:

flowchart2 flowchart2

Atau dalam bentuk matrikulasi dapat digambarkan sebagai berikut:

PENGGUNA DANA MANAJER KEUANGAN DIREKTUR EKSEKUTIF
1.   Menyusun Permohonan Uang Muka
2.   Memeriksa kesesuaian Permohonan Uang Muka dengan Anggaran
3.   Memberikan kembali Permohonan Uang Muka kepada Pengguna Dana apabila tidak sesuai dengan anggaran
4.   Melakukan review dan otorisasi  Permohonan Uang Muka yang sesuai dengan anggaran
5.   Memberikan uang tunai atau Bukti Setor Bank/Bukti Transfer Bank kepada Pengguna Dana
6.   Menyusun Laporan Pertanggungjawaban Uang Muka dan melengkapi dengan Dokumen Pendukung
7.   Memberikan Laporan Pertanggungjawaban Uang Muka, Dokumen Pendukung dan sisa dana kepada Manajer Keuangan apabila Uang Muka lebih besar dari Biaya
8.   Memberikan Laporan Pertanggungjawaban Uang Muka, Dokumen Pendukung kepada Manajer Keuangan apabila Uang Muka sama dengan Biaya

Bagaimana dengan pengalaman rekan-rekan di organisasinya masing-masing ? Silahkan berbagi …

Pengelolaan Uang Muka 3 : Menggunakan Bank atau Kas?

Pada bagian 2 yang lalu, kita telah bersama-sama memahami bahwa berdasarkan perbandingan antara jumlah dana yang diterima dan jumlah dana yang benar-benar dikeluarkan, maka akan terdapat 3 jenis kemungkinan laporan pertanggungjawaban uang muka, yaitu : ‘PJUM = UM’, ‘PJUM < UM’ dan ‘PJUM > UM’.

Bagian ini akan dimulai dengan pertanyaan dasar : dari mana uang muka dikeluarkan? Mungkin ada yang menjawab dari Bank dan ada juga yang menjawab bisa dari Bank, tapi bisa juga dari Kas. Kas disini secara umum bisa dikategorikan sebagai Kas Kecil.

Bagaimana yang ideal? Idealnya, untuk menjaga terbangunnya sistem pengendalian internal yang baik, pengeluaran/pemberian uang muka harus melalui bank. Tidak melalui Kas Kecil. Jadi ketika PUM (Permohonan atau Permintaan Uang Muka) disetujui oleh pihak otorisator, maka bagian keuangan akan melanjutkan prosesnya ke prosedur pengeluaran dana melalui bank.

Untuk kepentingan pengendalian internal, dan juga untuk kepentingan kita sendri sebagai pengelola keuangan, maka sebaiknya semua transaksi pengelolaan uang muka dilakukan melalui bank.

Kenapa ? Pertama.Kas Kecil adalah jumlah yang biasanya dipatok sejumlah pagu tertentu dan dikelola dengan sistem imprest fund, dan dibatasi untuk penggunaan tertentu, dengan besaran pengeluaran transaksi yang sudah ditentukan.

Misal : Kas Kecil dijaga dengan pagu Rp 1.000.000, dibatasi untuk keperluan rumah tangga kantor dan biaya operasional yang besar pengeluarannya masing-masing tidak boleh melebihi Rp 200.000 per transaksi. Di atas Rp 200.000, harus dikeluarkan melalui bank. Kas Kecil akan diisi kembali untuk menjaga pagunya tetap Rp 1.000.000 ketika saldonya sudah di bawah Rp 250.000 misalnya.

Kenapa pengeluaran transaksi Kas Kecil dibatasi di bawah Rp 200.000 ? Jawabnya jelas, karena prosedur otorisasi pengeluaran melalui Kas Kecil dan Bank berbeda. Otorisator pengeluaran Kas Kecil ada di Kasir, sedangkan otorisator pengeluaran bank biasanya ada pada Manajer Keuangan dan Direktur.

Kembali ke masalah uang muka, maka pengeluaran uang muka sebaiknya melalui bank dan bukan melalui kas kecil.

Alasan kedua adalah bahwa satu-satunya catatan obyektif mengenai lalu lintas keuangan kita ada di pihak Bank. Rekening Koran Bank adalah dokumen yang sangat membantu kita untuk memeriksa kehandalan catatan pembukuan kita.

Untuk kemungkinan ‘PJUM = UM’ maka tidak ada masalah kelebihan atau kekurangan UM. Tapi bagaimana jika ‘PJUM < UM’ dan ‘PJUM > UM’?

Jumlah kelebihan atau kekurangan uang muka kadang berjumlah kecil, misalnya kelebihan Rp 50.125. Atau kekurangan Rp 12.000 saja. Apakah bisa kemudian kelebihan uang muka tersebut diterima sebagai penerimaan kas kecil? Atau apakah bisa kekurangan uang muka diambil saja dari dana kas kecil?

Sebaiknya tidak.

Untuk kepentingan pengendalian internal, dan juga untuk kepentingan kita sendri sebagai pengelola keuangan, maka sebaiknya semua transaksi pengelolaan uang muka dilakukan melalui bank.

Memang terlihat pola ini menyulitkan bagi kita, tapi pada akhirnya nanti, juga untuk keperluaan tracing pihak auditor, pola ini yang akan paling pas membantu kita. Seluruh pergerakan uang muka per transaksinya, keluar masuknya, akan terpantau dengan baik dan akan terdokumentasikan dengan back up catatan dari Rekening Koran bank.

Apakah bisa transaksi pengeluaran uang muka, pembayaran kelebihan uang muka dan penerimaan pengembalian uang muka melalui bank bisa digabung-gabung transaksinya? Jawabnya, sekali lagi, sebaiknya tidak. Sebaiknya semua detil transaksi dilakukan terpisah, dengan menggunakan cek terpisah.

Masalah yang kemudian muncul adalah: jika polanya seperti itu, sedangkan seperti kita pahami di awal, bahwa pengelolaan uang muka adalah bagian utama siklus keuagan NGO, maka kita kemudian akan boros dalam menggunakan cek. Misanya untuk pengeluaran sebesar Rp 50.125 saja kita harus menggunakan selembar cek yang jika dinominalkan seharga Rp 4.000 (biasanya biaya cek adalah Rp 100.000 per buku dengan isi 25 lembar per buku).

Bagaimana kondisi ini sebaiknya disikapi? Ada lembaga yang kemudian menyusun kesepakatan dengan bank, yang kemudian satu cek saja bisa untuk sekian transaksi yang rinciannya dilampirkan di belakang cek, namun catatan di rekening korannya tetap terinci sesuai lampiran bukan digabung sejumlah nilai cek.

Atau ada pengelaman lain dari rekan-rekan? Silahkan…

Artikel selengkapnya (seri 1 – 4) bisa diunduh dalam format pdf disini.

Pengelolaan Uang Muka 2 : Tiga Kemungkinan Pertanggungjawaban

Tiga Kemungkinan Pertanggungjawaban Uang Muka.

Pada bagian I yang lalu, kita telah bersama-sama mencoba menggali, bagaimana siklus operasi normal terjadi dalam sebuah organisasi nirlaba, dan juga bagaimana karakteristik dan apa definisi dari uang muka program/kegiatan, yang kita pahami merupakan bagian utama dari siklus operasi normal tersebut.

Uang muka adalah semacam kas yang diperuntukkan untuk pelaksanaan kegiatan, yang wewenang pengelolaannya didelegasikan kepada orang/staf tertentu, sesuai dengan struktur otorisasi organisasi, untuk keperluan dan jangka waktu yang telah disetujui pada formulir pengajuannya.

Uang muka program/kegiatan yang diberikan, kemudian akan dibebankan menjadi biaya program/kegiatan ketika uang muka tersebut tersebut dipertanggungjawabkan oleh pemegang uang muka.

Pertanggungjawaban uang muka dilakukan oleh pemegang uang muka dengan menyusun laporan pertanggungjawaban uang muka (sering disebut : LPU, LPUM, atau PJUM). Laporan pertanggungjawaban ini akan terdiri dari paling tidak: (a) laporan rekap dan detil biaya yang terjadi, (b) perbandingan antara anggaran yang disetujui saat permohonan uang muka dilakukan dan realisasi biaya seperti pada point a, dan (c) perbandingan antara jumlah dana yang diterima dan jumlah dana yang benar-benar dikeluarkan.

Berdasarkan perhitungan perbandingan sesuai dengan poin c di atas (perbandingan antara jumlah dana yang diterima dan jumlah dana yang benar-benar dikeluarkan), maka akan terdapat 3 jenis kemungkinan laporan pertanggungjawaban uang muka, yaitu : ‘PJUM = UM’, ‘PJUM < UM’ dan ‘PJUM > UM’.

Kemungkinan pertama: ‘PJUM = UM’, sebagai contoh UM = 100, kemudian PJUM nya adaah sebesar 100 juga. Maka jurnalnya adalah sebagai berikut:

Jurnal pemberian uang muka:
Uang muka Program A 100
Bank 100
Jurnal pertanggungjawaban uang muka:
Biaya Program A 100
Uang muka Program A 100

Kemungkinan kedua: ‘PJUM < UM’, sebagai contoh UM = 100, kemudian PJUM nya adalah sebesar 80. Maka jurnalnya adalah sebagai berikut:

Jurnal pemberian uang muka:
Uang muka Program A 100
Bank 100
Jurnal pertanggungjawaban uang muka:
Biaya Program A 80
Bank 20
Uang muka Program A 100

Jurnal tersebut menggambarkan adanya pengembalian dana sisa uang muka yang tidak terserap sebesar 20.

Kemungkinan ketiga: ‘PJUM > UM’, sebagai contoh UM = 100, kemudian PJUM nya adalah sebesar 110. Maka jurnalnya adalah sebagai berikut:

Jurnal pemberian uang muka:
Uang muka Program A 100
Bank 100
Jurnal pertanggungjawaban uang muka:
Biaya Program A 110
Uang muka Program A 100
Bank 10

Jurnal tersebut menggambarkan adanya pengeluaran bank tambahan untuk menutup kelebihan penggunaan uang muka sebesar 10. Pengeluaran ini semacam reimbursement kepada si pemegang uang muka atas biaya yang dananya dia keluarkan lebih dulu bersumber dari dompet dia pribadi (dana talangan/prefinance).

Masalah yang remeh tapi kadang membingungkan adalah pengisian data tanggal pada jurnal. Apakah data yang kita masukkan adalah data tanggal ketika PJUM diserahkan oleh pemegang uang muka, atau tanggal-tanggal terjadinya biaya? Begini maksudnya: misalnya pertanggungjawaban uang muka dilakukan pada tanggal 12/1, tetapi isi detil pertanggungjawaban uang muka tersebut adalah nota-nota tanggal antara 4/1 hingga 11/1. Maka data tanggal mana yang akan kita jadikan data tanggal pada jurnal kita?

Sekali lagi, karena kita memahami bahwa akuntansi pada dasarnya adalah sebuah seni penyajian, maka kami mengajak rekan-rekan semua untuk ikut memaparkan ide seni-nya masing-masing, seperti apa sebaiknya masalah ‘sepele’ tersebut disikapi. Silahkan…

Artikel selengkapnya (seri 1 – 4) bisa diunduh dalam format pdf disini.

Pengelolaan Uang Muka 1 : Bagian Utama Siklus Keuangan LSM

Uang Muka sebagai Bagian Utama dalam Siklus Operasi Normal di LSM.

Siklus operasi normal organisasi bisnis akan terdiri dari urutan : kas/bank – persediaan – hutang – penjualan – piutang – kas/bank. Sedangkan dalam siklus organisasi nirlaba urutannya jauh berbeda yaitu: kas/bank – uang muka program/kegiatan – pertanggungjawaban uang muka – biaya.

Dari gambaran rentetan tahapan di atas, maka tampaklah betapa pentingnya posisi pengelolaan uang muka dalam organisasi nirlaba. Tingkat kerumitan pengelolaan uang muka menjadi bagian terbesar dari masalah yang kemudian dihadapi oleh para pengelola keuangan organisasi nirlaba. Dalam kalimat lain, jika uang muka program/kegiatan bisa kita kelola dengan baik, maka laporan keuangan organisasi secara umum pastinya akan dapat kita sajikan dengan mudah.

Lantas, apa saja alternatif metode pengelolaan uang muka yang ideal?

Baik, kita akan coba menguraikan permasalahan ini secara bertahap. Kita akan coba mengenali dulu apa definisi dan karakter uang muka program/kegiatan dalam siklus operasi organisasi nirlaba.

Uang muka termasuk dalam kategori harta/asset. Penyajian di dalam neraca biasanya setelah ‘kas dan kas ekuivalen’ dan ditempatkan dalam deretan yang berdekatan dengan ‘piutang’, atau ‘biaya dibayar di muka’.

Yang masuk dalam kategori ‘piutang’ adalah transaksi yang diharapkan nantinya terjadi penerimaan/pengembalian dana di kemudian hari. Misalnya piutang donor, piutang karyawan atau deposit sewa rumah. Misalnya, berdasarkan agreement dengan donor, kita kemudian membukukan adanya piutang donor A. Atau atas transaksi pemberian pinjaman kepada karyawan, kita bukukan catatan atas piutang karyawan. Pada intinya : piutang menggambarkan keyakinan kita akan adanya penerimaan/pengembalian dana di kemudian hari.

Apakah karakter uang muka persis seperti itu? Jawabnya adalah : tidak. Kenapa? Karena pada prinsipnya pemberian uang muka tidak bersifat sebagai pinjaman, dan tidak diharapkan pengembalian sejumlah dana yang sudah dikeluarkan di awal.

Mengenai ‘biaya di bayar di muka’. Biaya di bayar di muka, contohnya adalah biaya sewa yang dibayar oleh organisasi untuk periode jangka waktu 2 tahun ke depan. Di sini dana sudah dikeluarkan seluruhnya di muka, namun ‘biaya sewa’nya sesungguhnya harus dibiayakan (atau dibebankan) sesuai periode penggunaan sewanya. Maka sebelum periode pembebanannya terlewati, saldo biaya yang dibayar di muka akan tetap ditempatkan pada kategori harta/asset dan pembebanan biaya sewa akan dilakukan secara periodik.

Apakah karakter uang muka sama seperti biaya dibayar di muka? Jawabnya : agak mirip. Kenapa? Karena pada prinsipnya saldo uang muka akan dibebankan ketika biaya program/kegiatan sudah benar-benar terjadi. Kapan itu? Ketika uang muka tersebut dipertanggungjawabkan oleh pemegang uang muka. Maka letak perbedaannya adalah pada cara pembebanan. Pembebanan biaya sewa pada sewa dibayar di muka mengikuti pola periodik, sedangkan pembebanan biaya program pada uang muka dilakukan berdasarkan transaksi pertanggungjawaban uang muka tersebut.

Uang muka sendiri juga memiliki kemiripan karakter dengan ‘kas’. Uang muka adalah semacam kas yang diperuntukkan untuk pelaksanaan kegiatan, yang wewenang pengelolaannya didelegasikan kepada orang/staf tertentu, sesuai dengan struktur otorisasi organisasi, untuk keperluan dan jangka waktu yang telah disetujui pada formulir pengajuannya.

Jika terjadi transaksi pengeluaran uang muka program/kegiatan bagi si A yang tujuannya adalah untuk pelaksanaan pembayaran biaya program/kegiatan secara kas, maka jelas bahwa transaksi tersebut masuk dalam kategori ‘uang muka’. Termasuk didalamnya misalnya pembayaran DP 40% biaya cetak buku ke percetakan XYZ.

Tapi misalnya, organisasi (dalam hal ini : kasir organisasi) membayar langsung DP 40% biaya cetak tersebut kepada percetakan XYZ, apakah ini juga masuk dalam kategori uang muka? Ataukah biaya dibayar di muka? Atau malah bisa langsung dibebankan sebagai biaya cetak?

Karena kita memahami, bahwa akuntansi pada dasarnya adalah ‘seni penyajian laporan keuangan’, maka kami mengajak rekan-rekan semua untuk ikut memaparkan metode seni penyajian ala masing-masing seperti apa terkait dengan transaksi pada paragraf sebelumnya. Silahkan…

Artikel selengkapnya (seri 1 – 4) bisa diunduh dalam format pdf disini.

Penganggaran dan Keswadayaan

Sejatinya, penganggaran merupakan garis “start” dari siklus pengelolaan keuangan. Dalam organisasi nirlaba, penyusunan anggaran akan diikuti dengan penyusunan proposal biaya. Seandainya proposal tersebut memperoleh respon positif, maka organisasi nirlaba tersebut akan menerima dana hibah yang digunakan untuk membiayai program yang ditawarkan.

Dalam rentang pelaksanaan program itulah terjadi aneka transaksi keuangan, maka pencatatan akuntansi pun langsung bekerja yang kemudian menghasilkan laporan keuangan.

Begitulah yang terjadi pada organisasi nirlaba, siklus pengelolaan keuangan akan berjalan sejajar dengan siklus pengelolaan program. Mari kita melihat masing-masing siklus pengelolaan yang terjadi pada program dan keuangan.

Seandainya proposal memperoleh respon positif, maka organisasi nirlaba akan menerima dana hibah yang digunakan untuk membiayai program yang ditawarkan.

Download panduan selengkapnya (PDF)

Sistem Pengendalian Intern Partai Politik

Hampir dalam setiap laporan hasil pemeriksaan BPK terhadap laporan pertanggung jawaban dana bantuan partai politik terdapat catatan atas lemahnya sistem pengendalian intern pada organisasi partai politik yang diperiksa. Untuk itu, diharapkan partai politik dapat lebih meningkatkan sistem pengendalian internnya sehingga dapat menghasilkan laporan keuangan yang jauh lebih tepat dan akurat.

Sistem pengendalian intern partai politik merupakan suatu proses yang didesain dan dijalankan dalam suatu organisasi partai politik yang melibatkan sistem dan prosedur serta kebijakan, personel dan lingkungan serta pimpinan partai politik yang bertujuan untuk meyakinkan tujuan partai politik dapat tercapai yaitu:

  1. Operasional partai politik yang efisien dan efektif.
  2. Pelaporan yang tepat waktu.
  3. Kepatuhan terhadap hukum dan peraturan yang berlaku.

Sistem pengendalian intern meliputi unsur-unsur sebagai berikut:

a. Lingkungan pengendalian

Lingkungan pengendalian suatu partai politik menunjukkan corak partai politik tersebut yang mempengaruhi sikap, kesadaran dan tindakan para personelnya. Lingkungan pengendalian yang menjadi dasar untuk semua komponen pengendalian intern, terbentuk dari suatu budaya kerja dan etika dari setiap personel yang terlibat dalam pengelolaan suatu partai politik yang sangat ditentukan oleh integritas pimpinan partai politik dalam mengelola organisasi partai politiknya. Penegakan kode etik dan disiplin merupakan salah satu tolok ukur mengenai lingkungan pengendalian partai politik.

Dengan demikian maka komitmen pimpinan dan personel yang terlibat dalam pengelolaan suatu partai politik sangat mempengaruhi terbentuknya lingkungan pengendalian yang baik. Selain itu, kompetensi sumber daya manusia yang mampu melaksanakan tugas-tugas kepartaian juga sangat penting dan dominan dalam suatu lingkungan pengendalian yang baik.

b. Penaksiran risiko

Penaksiran risiko merupakan suatu proses identifikasi, pengukuran, pengelolaan dan mengevaluasi risiko yang relevan bagi partai politik dalam melaksanakan aktivitasnya untuk mencapai tujuan yang telah ditetapkan. Partai politik harus memitigasi risiko yang akan dihadapi sehingga tujuan partai politik dapat tercapai. Penaksiran risiko ini terutama ditujukan juga untuk mengantisipasi risiko-risiko yang timbul akibat perubahan-perubahan yang terjadi.

Sistem pengendalian intern partai politik merupakan suatu proses yang didesain dan dijalankan dalam suatu organisasi partai politik yang melibatkan sistem dan prosedur serta kebijakan, personel dan lingkungan serta pimpinan partai politik

c. Aktivitas pengendalian

Aktivitas pengendalian adalah kebijakan dan prosedur yang didesain dan diterapkan oleh partai politik dengan tujuan untuk menciptakan pengendalian yang baik atas asset dan informasi dalam partai politik sehingga menghasilkan laporan keuangan yang obyektif.

Beberapa contoh aktivitas pengendalian adalah sebagai berikut:

  • Pemisahan antara fungsi yang memadai, misalnya pemisahan antara bagian yang memiliki kewenangan untuk mengeluarkan asset dengan bagian yang melakukan pencatatan dan bagian yang melakukan penyimpanan aset.
  • Pengawasan asset dengan membandingkan antara catatan dan fisik.
  • Pemisahan penggunaan rekening khusus yang terpisah-pisah untuk dana kampanye, bantuan keuangan dari pemerintah, iuran anggota, dan sumbangan pihak ketiga.

d. Informasi dan komunikasi

Komponen informasi dan komunikasi ini adalah metode yang dipergunakan untuk mengidentifikasi, mengumpulkan, mengklasifikasi, mencatat dan melaporkan semua transaksi, serta untuk memelihara akuntabilitas yang berhubungan dengan asset. Transaksi-transaksi harus memuaskan dalam hal eksistensi, kelengkapan, ketepatan, klasifikasi, tepat waktu, serta dalam posting dan mengikhtisarkan.

Dalam informasi dan komunikasi harus jelas tanggung jawab dan pendelegasian wewenang serta aliran arus informasi. Kecukupan atas penggunaan format laporan, penggunaan formulir yang baku dan memadai, periode pelaporan dan waktu pelaporan merupakan hal yang penting dalam hal ini.

e. Pemantauan

Pemantauan dilaksanakan untuk memastikan pengendalian intern telah berjalan dengan baik sepanjang waktu sehingga proses pemantauan ini akan dapat menentukan kualitas kinerja pengendalian intern dari suatu organisasi partai politik.

Salah satu metode yang dapat digunakan untuk memantau sejauh mana sistem pengendalian telah berjalan dalam suatu organisasi partai politik adalah dengan menggunakan metode lembar periksa (checklist). Lembar periksa (checklist) adalah metode penggalian data dan informasi tentang sistem pengendalian internal suatu organisasi partai politik dengan menggunakan daftar pertanyaan yang tolok ukurnya berasal dari suatu indikator keberhasilan organisasi.

Jawaban atas pertanyaan tersebut adalah “Ya” atau “Tidak” di mana jawaban “Ya” menunjukkan kuatnya atau berfungsinya sistem pengendalian sedangkan jawaban “Tidak” menunjukkan lemahnya atau tidak berfungsinya sistem pengendalian. Dengan demikian maka organisasi partai politik tersebut dapat mengetahui bagian-bagian yang masih lemah pengendaliannya dan kemudian berusaha meningkatkannya.

Penerapan Metode Pengendalian dalam Organisasi

Lingkungan pengendalian mencerminkan sikap dan tindakan para pemilik dan manajer perusahaan mengenai pentingnya pengendalian intern organisasi. Efektivitas unsur pengendalian intern sangat ditentukan oleh atmosfer yang diciptakan lingkungan pengendalian. Sebagai contoh, dalam suatu organisasi yang pimpinan puncaknya menganggap anggaran hanya sebagai alat untuk memenuhi kebutuhan stakeholder organisasi, bukan sebagai alat pimpinan untuk perencanaan dan pengendalian kegiatan organisasi, lingkungan ini akan mengakibatkan pimpinan menengah dan karyawan tidak serius dalam melaksanakan anggaran organisasi.

Lingkungan pengendalian harus diberi tekanan perhatian, karena berdasarkan kenyataan, justru lingkungan pengendalian ini yang mempunyai dampak besar terhadap keseriusan pengendalian intern yang diterapkan di dalam organisasi.

Metode pengendalian pimpinan merupakan metode perencanaan dan pengendalian alokasi sumber daya perusahaan dalam mencapai dilakukan empat tahap, yaitu:

  • penyusunan program (rencana jangka panjang),
  • penyusunan anggaran (rencana jangka pendek),
  • pelaksanaan dan pengukuran,
  • pelaporan dan analisis.

Proses pengolahan organisasi dimulai dengan perencanaan strategik (strategic planning) uang didalamnya terjadi proses penetapan tujuan organisasi dan penentuan strategi untuk mencapai tujuan organisasi dan penentuan strategi untuk mencapai tujuan tersebut. Setelah tujuan perusahaan ditetapkan dan strategi untuk mencapai tujuan tersebut dipilih, proses pengelolaan organisasi kemudian diikuti dengan penyusunan program-program untuk mencapai tujuan organisasi yang ditetapkan dalam perencanaan stratejik.

Penyusunan program merupakan proses pengambilan keputusan mengenai program yang akan dilaksanakan oleh organisasi dan penaksiran sumber yang dialokasikan kepada setiap program tersebut. Program merupakan rencana jangka panjang untuk mencapai tujuan organisasi yang ditetapkan dalam perencanaan stratejik.

Rencana jangka panjang yang dituangkan dalam program memberikan arah ke mana kegiatan organisasi ditujukan dalam jangka panjang. Anggaran merinci pelaksanaan program, sehingga anggaran yang disusun setiap tahun memiliki arah seperti yang ditetapkan dalam rencana jangka panjang.

Jika tidak disusun berdasarkan program, pada dasarnya organisasi seperti berjalan tanpa tujuan yang jelas.

Proses penyusunan anggaran pada dasarnya merupakan proses penerapan peran (role setting) dalam usaha pencapaian tujuan organisasi. Dalam proses penyusunan anggaran ditetapkan siapa yang akan berperan dalam melaksanakan sebagai kegiatan pencapaian tujuan perusahaan dan ditetapkan pula sumber ekonomi yang disediakan bagi pemegang peran tersebut, untuk memungkinkan ia melaksanakan perannya. Sumber ekonomi yang disediakan untuk memungkinkan pimpinan berperan dalam usaha pencapaian tujuan organisasi tersebut diukur dengan satuan moneter standar yang berupa informasi akuntansi.

Oleh karena itu, penyusunan anggaran hanya mungkin dilakukan jika tersedia informasi akuntansi pertanggungjawaban, yang mengukur berbagai sumber ekonomi yang disediakan bagi setiap manajer yang berperan dalam usaha pencapaian tujuan yang telah ditetapkan dalam tahun anggaran.

Dengan demikian, anggaran berisi informasi akuntansi pertanggungjawaban yang mengukur sumber ekonomi yang disediakan selama tahun anggaran bagi manajer yang diberi peran untuk mencapai tujuan organisasi. Dalam sebagai alat pengirim peran (role sending device) kepada pimpinan yang diberi peran dalam pencapaian tujuan perusahaan. Proses penyusunan anggaran merupakan proses penetapan peran yang menggunakan informasi akuntansi pertanggungjawaban untuk menyiapkan nilai sumber ekonomi yang disediakan bagi setiap pimpinan pusat pertanggungjawaban guna melaksanakan perannya masing-masing.

Partisipasi para pimpinan dalam penyusunan anggaran merupakan faktor yang menimbulkan “self control” dalam pelaksanaan anggaran. Partisipasi adalah suatu proses pengambilan keputusan bersama oleh dua pihak atau lebih yang mempunyai dampak masa depan bagi pembuat keputusan tersebut. Partisipasi dalam penyusunan anggaran berarti keikutsertaan pimpinan kegiatan dalam memutuskan bersama dengan komite anggaran mengenai rangkaian kegiatan di masa yang akan datang, yang akan ditempuh oleh pimpinan kegiatan tersebut dalam pencapaian tujuan perusahaan.

Tingkat partisipasi pimpinan kegiatan dalam penyusunan anggaran akan mendorong moral kerja yang tinggi dan inisiatiaf para pimpinan. Moral kerja yang tinggi merupakan kepuasan seseorang terdapat pekerjaan, atasan, dan rekan sekerjanya. Moral kerja ditentukan oleh seberapa besar seseorang mengidentifikasi dirinya sebagai bagian dari organisasi. Agar proses penyusunan anggaran dapat menghasilkan anggaran yang dapat berfungsi sebagai alat pengendalian, proses penyusunan anggaran harus menanamkan “sense of commitment” dalam diri penyusunannya.

Proses penyusunan anggaran yang tidak berhasil menanamkan “sense of commitment” dalam diri penyusunannya berakibat anggaran yang disusun tidak lebih hanya sekedar sebagai alat perencanaan; yang jika terjadi penyimpanan antara realisasi dari anggarannya, tidak satu pun pimpinan yang merasa bertanggung jawab.

Di samping program dan anggaran sebagai periode pengendalian, pelaksanaan rencana yang tertuang dalam program dan anggaran memerlukan sistem informasi akuntansi untuk mengukur konsumsi sumber daya dalam pencapaian tujuan organisasi. Sistem informasi akuntansi digunakan untuk dasar pelaksanaan tahap ketiga dan keempat pengendalian; pelaksanaan dan pengukuran; dan pelaporan dan analisis.

Elemen dan Unsur Sistem Keuangan dan Akuntansi Nirlaba

Secara umum sistem keuangan organisasi nirlaba paling sedikit akan mencakup prosedur-prosedur sebagai berikut:

  • Prosedur Penerimaan Melalui Kas
  • Prosedur Penerimaan Melalui Bank
  • Prosedur Pengelolaan Uang Muka
  • Prosedur Penyaluran Dana Program ke Regional/Mitra
  • Prosedur Pengadaan Barang/Jasa
  • Prosedur Pemberian Tunjangan Kesehatan
  • Prosedur Pinjaman Karyawan
  • Prosedur Pembayaran Gaji Karyawan
  • Prosedur Pengelolaan Kas Kecil
  • Prosedur Pengeluaran Melalui Bank
  • Prosedur Penyajian Informasi Keuangan
  • Prosedur Pelaporan Akuntansi

Prosedur Sistem Keuangan Nirlaba antara lain mencakup: Penerimaan Melalui Kas, Penerimaan Melalui Bank, Pengelolaan Uang Muka, Penyaluran Dana Program ke Regional/Mitra, Pengadaan Barang/Jasa, Pembayaran Gaji Karyawan, Pengelolaan Kas Kecil, Pengeluaran Melalui Bank, Penyajian Informasi Keuangan, Pelaporan Akuntansi.

Sedangkan sistem akuntansi akan terdiri dari empat unsur utama yaitu:

  1. Klasifikasi rekening. Adalah penggolongan rekening-rekening yang digunakan dalam sistem akuntansi. Rekening-rekening ini terdiri dari rekening posisi keuangan dan rekening laporan aktivitas. Daftar dari rekening-rekening yang digunakan beserta dengan nomor kodenya disebut kerangka rekening (chart of accounts).
  2. Buku besar dan buku pembantu. Buku besar berisi rekening-rekening posisi keuangan dan aktivitas yang digunakan dalam sistem akuntansi. Buku besar ini merupakan dasar untuk menyusun laporan keuangan, seperti laporan posisi keuangan, laporan aktivitas, laporan arus kas dan laporan-laporan lainnya. Buku besar ini disebut juga sebagai buku pencatatan terakhir (books of final entry). Buku pembantu berisi rekening-rekening yang merupakan rincian dari suatu rekening buku besar. Misalnya rekening uang muka dalam buku besar dibuatkan rincian untuk setiap pemegang uang muka. Kumpulan rekening-rekening uang muka ini disebut buku pembantu uang muka.
  3. Jurnal. Yang dimaksud dengan jurnal adalah catatan transaksi pertama kali (books of original entry). Catatan ini dibuat urut tanggal terjadi transaksi. Biasanya dibuatkan jurnal-jurnal khusus untuk mencatat transaksi-transaksi yang frekuensinya tinggi.
  4. Bukti transaksi. Merupakan formulir yang digunakan untuk mencatat transaksi pada saat terjadinya (data recording) sehingga menjadi bukti tertulis dan transaksi yang terjadi seperti faktur penjualan, bukti kas keluar dan lain-lain. Bukti transaksi ini dalam sistem akuntansi yang dikerjakan dengan tangan (manual) digunakan sebagai dasar pencatatan dalam jurnal maupun rekening-rekening. Dalam suatu proses computerized accounting system, bukti transaksi perlu diubah dulu untuk menyesuaikan dengan kebutuhan komputer. Proses perubahan ini disebut data transcription.